Cyber Media
Call Warta: 2981039
Usai sukses dengan pentas teater pertamanya, Shelter Rumah Hati Jombang bekerjasama dengan FP Ubaya, Universitas Hang Tuah, Himpunan Psikologi (HIMPSI) Jawa Timur, Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Anak Klas II Blitar, Lapas Anak Klas II Jombang, Rumah Tahanan Klas I Medaeng Sidoarjo, Kinder Not Hilfe (KNH) Jerman, dan PsychoPolitical Peace Institute (PPPI) New York untuk kembali memproduksi pentas teater ke-2 berjudul ‘Lapar’ yang disutradarai oleh Zainuri. Digelar pada 20 Juni di Graha Samudera Ganesha Universitas Hang Tuah Surabaya silam, teater bernuansa psikologis ini pantas diakui istimewa karena dimainkan oleh empat mantan anak didik Lapas. Di bawah naungan Ketua Proyek Shelter Rumah Hati Jombang sekaligus Dekan FP Ubaya dan salah satu supervisi teater ini yakni Prof Dr Yusti Probowati R Psikolog, keempat pemain tersebut mampu mencelikkan mata para penontonnya dari segala label negatif yang selama ini melekat dalam diri setiap mantan narapidana.
“Teater bukan hanya sebagai seni, namun juga proses terapi. Dengan berteater, seseorang dapat membentuk kedisiplinan, berani tampil di depan umum, serta melatih teamwork antar pemain. Proses ini mampu membentuk tanggung jawab dan meningkatkan harga diri pemain, yakni mantan anak didik Lapas yang sebelumnya bukanlah siapa-siapa dan kini telah menjadi siapa-siapa,” papar Prof Yusti.
Berbalut kaos putih oblong dan celana cokelat pendek khas narapidana, keempat pemain yakni Angga (14), Habibi (16), Andre (14), dan Saman (16) saling berdialog melampiaskan perasaan dan pengalaman hidup mereka ketika berada di luar rumah tahanan. Mengusung setting tempat di dalam ruang tahanan dan di bawah tiang bendera, anak-anak tersebut memainkan peranannya masing-masing dengan penuh penjiwaan. Mereka tampak menyesali diri antara perutnya yang lapar dengan berbagai keinginan masa senangnya, dimana anak-anak seusianya berangkat sekolah dan berkumpul bersama keluarga. Mereka merayap kesakitan, hingga tertidur di atas karung sambil mendekap piring kosong.
“Yang lapar bukan perut kami. Yang lapar otak dan batin kami. Otak kami lapar karena tidak mampu mengenyam pendidikan. Batin kami lapar karena tidak pernah menemukan kebahagiaan dalam keluarga,” ungkap salah satu pemain sembari meneriakkan naskah teater yang tak lain adalah buah pikiran dan perasaan mereka sendiri.
Kesulitan dalam proses ini adalah saat pemain berusaha untuk menganggap pengalamannya yang tidak mengenakkan menjadi bagian dari dirinya. “Masa ini memang merupakan masa sulit dan membutuhkan proses cukup lama, yakni sekitar 5 bulan untuk berlatih setiap hari. Mereka akan dianggap berhasil ketika mereka mampu menerima pengalaman tersebut dan menceritakan peristiwa hidupnya di hadapan banyak orang dengan perasaan lega,” imbuh Prof Yusti.
Pentas teater ini diakhiri dengan diskusi dengan para supervisi dari pentas teater, sutradara, dan keempat pemain yang sukses memancing antusiasme para penonton yakni para mahasiswa dari Ubaya, Universitas Hang Tuah, dan UNTAG. Para pemain sendiri menceritakan bagaimana suka dukanya selama berlatih hingga menuntaskan aksinya di panggung. Para remaja yang harus masuk bui akibat kasus asusila maupun pencurian ini pun tak ketinggalan menyebutkan cita-citanya ketika ditanya oleh salah satu penonton. Diantaranya Angga ingin bercita-cita membuka jasa laundry, Andre yang ingin menjadi tentara, Habibi yang ingin menjadi wirausaha, dan Saman yang ingin menjadi desainer.
Masih memandang mantan anak didik Lapas sebagai anak-anak tak bermoral dan tak bermasa depan? Lihat, mereka pun sebenarnya adalah anak-anak bangsa yang sama dengan kita, yang memiliki masa depan dan layak dibanggakan. (syn)