Cyber Media
Call Warta: 2981039
“Berawal dari keterpurukan popularitas di negeri sendiri, kini film Indonesia berhasil menggemparkan masyarakat tanah air. Mulai film action yang berhasil menembus kancah Internasional hingga biografi tokoh yang menarik jutaan masyarakat”
Salah satu penikmat film yang tertarik akan produksi film dalam negeri adalah Aditya Bonaficio Calderon. Kegemarannya mengikuti perkembangan film Indonesia sejak duduk di bangku SMP membuat dirinya tidak awam lagi dengan film yang ada. Sebut saja film ‘Kuntilanak 1 dan 2’, ‘The Raid’, ‘Soe Hok Gie’, ‘Merah Putih 1’, dan ‘Laskar Pelangi’ yang menjadi film favoritnya.
. “Alasan utama saya menyukai film anak bangsa adalah cerita horor yang mencekam, action keren dan benar-benar menly, hingga film yang menggambarkan keindahan Indonesia,” ungkap Bona, biasa beliau disapa.
Melihat keadaan film Indonesia yang tengah merosot membuatnya harus lebih selektif dalam pemilihan film. Begitu pula dengan masyarakat kita saat ini. Perfilman Indonesia saat ini lebih terlihat sedang kejar tayang, kejar produksi dan kejar uang, terlihat amino masyarakat yang selalu naik turun saat ini.
“Film Indonesia sudah mulai berkembang, tetapi ada beberapa yang sebaliknya. Film horor, misalnya, dibandingkan dengan yang dulu, film horor sekarang mengalami penurunan kualitas dengan menipu penonton, bahkan justru membuat penonton tertawa,” jelas pria penggemar film horor dan action ini.
Disamping itu, ada juga film yang berhasil hingga keluar negeri meski bukan hasil karya orang Indonesia, tetapi hal itu menjadi gebrakan bahwa film Indonesia cukup menarik, bahkan beberapa aktor Indonesia turut campur dalam pembuatan film Hollywood,” lanjutnya.
Film dengan genre horor dan percintaan memang menjadi andalan di Indonesia namun memiliki kelemahan jalan cerita yang mudah ditebak dan cenderung membosankan. Mungkin genre action bisa dijadikan alternatif, seperti ‘The Raid’ yang mendapat respon positif dari masyarakat.
Alangkah baiknya jika film horor dan percintaan dikemas lebih menarik, unik, dan bervisual efek, apalagi Indonesia memiliki studio pembuatan visual efek yang bisa dimanfaatkan.
“Peningkatan ini harus dipertahankan, jangan berhenti sampai disini. Teknik perfilman lebih diperhatikan, seperti teknik sinematografi yang lebih natural. Masyarakat pun harus berani berkarya seperti membuat film indie sebagai langkah awal,” harapnya. (csh)