Cyber Media
Call Warta: 2981039
Tak hanya terdesak kesulitan ekonomi, ada suatu penyebab lain yang menyebabkan seseorang sampai melakukan suatu tindakan tak terpuji seperti kriminalitas. Itulah aspek psikologis!
Jenis kriminalitas bisa dibagi berdasarkan karakteristik psikologis individu antar lain tindakan agresivitas, seksualitas, narkoba, terorisme, pencurian, dan korupsi. “Ambil saja contoh tindakan agresivitas yang berkaitan dengan pembunuhan. Terlihat sekali karakteristik khas dalam diri pelaku yaitu sifat agresif yang tinggi atau pengelolaan emosi yang buruk,” papar Prof Dr Yusti Probowati, dekan FP Ubaya.
Perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) Indonesia ini juga menyebutkan adanya faktor internal dan eksternal yang menyebabkan terjadinya kriminalitas. Faktor internal berasal dari kepribadian yang terbentuk dari keluarga sebagai peletak dasar sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh lingkungan.
“Namun modus operandi yang ada memang berubah mengikuti perkembangan zaman,” ungkapnya lagi. Di era 60-an, pelaku berani mencuri rambut orang yang telah meninggal untuk membuat gelung rambut, sedangkan zaman sekarang bentuk kejahatan lebih banyak didukung oleh kecanggihan teknologi seperti pencurian pulsa dan pembajakan.
Sayangnya, hukuman penjara yang cenderung bersifat fisik acapkali tidak membuat para pelaku jera. Hal itu disebabkan tidak adanya intervensi psikologis seperti pendampingan para eks narapidana (napi). “Itu lah kelemahan lembaga pemasyarakatan di Indonesia,” tegasnya. Seringkali label negatif yang ditujukan masyarakat kepada mereka membuat banyak mantan napi kembali melakukan kejahatan. “Disini lah intervensi psikologis seperti rehabilitasi sosial dan komunitas seharusnya diberikan. Tujuannya untuk menaikkan harga diri dan meningkatkan penerimaan masyarakat kepada mereka,” tukasnya.
Tak hanya bicara, Prof Yusti telah menunjukkan kepeduliannya terhadap mantan napi, terutama tahanan anak dengan membentuk shelter ‘Rumah Hati’ di Jombang. Fungsinya tak lain sebagai rumah singgah bagi mereka yang baru keluar dari lapas untuk mendapatkan pendampingan secara psikologis dan pembekalan untuk bekerja selama enam bulan. “Bagaimanapun juga mereka tetap anak-anak Indonesia dan calon generasi penerus bangsa yang turut memiliki hak untuk berkembang lebih baik. Semoga hal ini juga menjadi inspirasi bagi pemerintah bahwa sebenarnya mereka bisa berubah jika mendapat penanganan yang tepat,” tutupnya. (syn/wu)