Cyber Media
Call Warta: 2981039
Baru-baru ini pemerintah sempat menuda keinginan untuk menaikkan harganya. Prof Drs ec Wibisono Hardjopranoto MS, seorang pakar ekonomi memaparkan bahwa kelemahan dari pemerintah kita yaitu tidak memiliki strategi energi. Seharusnya pemerintah memiliki perencanaan strategis (strategic formulation) untuk mengatasi ketergantungan pada BBM.
Meski pada 2005-2006 silam pemerintah sempat membicarakannya, namun strategi yang dibuat belum cukup jelas apalagi untuk direalisasikan. Para menteri semestinya dapat memperkirakan kebutuhan akan pengembangan energi ini. “Diperlukan perencanaan pengadaan sarana transportasi dan infrastruktur yang baik, sehingga tidak menimbulkan kemelut atau bermotif kepentingan politik semata. Intinya memang ditujukan pada kepentingan rakyat,” tukas mantan rektor Ubaya ini.
Dihadapkan pada pernyataan adanya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Prof Wibi berkomentar bahwa masyarakat telah memiliki persepsi yang salah. BLSM seharusnya tidak dikaitkan dengan isu subsidi BBM. Sistem ekonomi kita bukanlah sistem ekonomi pasar (free market), melainkan ekonomi pasar sosial (social market). Walau bersifat sosial, ekonomi Indonesia berkarakter ekonomi pasar sehingga dalam persaingannya pasti ada pelaku yang kalah dan yang menang. Bagi pelaku pasar yang kalah, pemerintah lah yang harus memberikan santunan karena pasar tidak dapat dan tidak mungkin melakukannya.
Ada tidaknya kasus BBM, santunan tetap harus diberikan dalam bentuk keberpihakan (affirmative action) dalam dua kategori. Pertama, santunan diberikan tanpa syarat pada masyarakat yang makan pun tak sanggup (extremely poor). Kedua, santunan lebih baik diwujudkan dalam program pembangunan infrastruktur yang bersifat padat karya kepada kategori near poor.
Pernyataan ‘jangan berikan ikan, namun berikan kail’ tidak tepat diterapkan bagi kategori pertama karena mereka menghadapi masalah hidup mati. Pernyataan itu bisa dipertimbangkan untuk kategori kedua agar ada proses pembelajaran dalam program tersebut. Sehingga bisa menurunkan angka pengangguran dan memiliki multiplier effect untuk meningkatkan pendapatan masyarakat terutama kalangan bawah. Jadi, tidak benar jika kenaikan harga BBM dianggap sebagai penyelamat ekonomi.
APBN khususnya sektor pajak harusnya bisa lebih efektif jika para ‘gayus’ yang berkeliaran dapat dibersihkan. Sumber pendapatan masih bisa dicari dengan komitmen pemerintah. Dilihat dari proporsi utang negara yang tidak sampai 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pemerintah memiliki keleluasaan dalam kebijakan pembiayaan APBN. Bahkan Indonesia terbilang stabil dibanding dengan negara-negara Eropa yang memiliki problem hutang lebih hebat. Jepang yang terbilang sehat juga memiliki hutang dengan proporsi 220% di atas PDB namun lihai menutupi defisit pembiayaan APBN.
Selama ini pemerintah hanya berfokus pada penurunan hutang padahal tak selamanya memiliki hutang adalah buruk. Jika dikelola dengan baik, hutang bisa membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat asal tidak dikorupsi. Dari segi alokasi, pengeluaran yang berada pada skala prioritas terendah harus dipangkas semisal pelaksanaan kunjungan keluar negeri.
Rencana kenaikan ini pun sudah salah dari awal karena perencanaan undang-undang yang tidak matang. “Awalnya DPR membuat keputusan untuk tidak menaikkan harga. Seharusnya permasalahan tentang kenaikan ini tak perlu dibicarakan lagi di tahun ini. Karena apabila harga-harga sudah naik akibat kenaikan harga BBM pasti akan sulit menurunkannya kembali,” tutupnya. (mdi/wu)