Cyber Media
Call Warta: 2981039
“Apa sih yang nggak buat kamu, yank?”
“Demi Neng, apa aja pasti Abang lakuin! Asal Neng janji nggak bakal ninggalin Abang ya...”
Sering dengar contoh ungkapan di atas? Memang tak bisa dipungkiri lagi, kehadiran cinta dalam kehidupan manusia adalah salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanpa cinta, hidup bisa jadi serasa kurang hidup dan kurang harapan. Namun, mungkinkah kebutuhan akan cinta dapat membawa manusia kepada hal-hal yang tak diharapkan?
“Kebutuhan untuk dicintai sebenarnya sudah ada sejak manusia lahir dan akan terus berkembang sepanjang kehidupan manusia. Hanya saja bentuk interaksi dan pemenuhannya yang berbeda,” ungkap Nurlita Endah Karunia SPsi MPsi Psikolog membuka penjelasannya.
Bayi yang baru lahir pun sudah memiliki kebutuhan untuk dicintai melalui interaksi keterikatan dengan ibunya. Pada masa anak-anak, ia akan mengembangkan cintanya melalui interaksi dengan orangtua yaitu ibu dan ayahnya, yang kemudian meluas bersama teman-teman dan guru saat ia mulai bersekolah.
Perubahan besar dalam cinta terjadi ketika individu mulai memasuki masa remaja. Ditambah dengan perubahan secara psikis dan fisiologis, cinta ini berkembang melalui interaksi bersama teman sebaya maupun lawan jenis dalam bentuk hubungan pendekatan hingga pacaran. Lebih lanjut, individu akan mengembangkan cinta dengan pasangannya melalui hubungan yang lebih dalam pada pernikahan saat dewasa. Hal ini berlangsung seterusnya secara bertahap hingga individu berhasil mencapai akhir tahap perkembangan dalam kehidupannya.
Berbicara tentang cinta dalam kaitannya dengan lawan jenis atau pasangan, dosen FP yang akrab disapa Lita inipun berusaha menjelaskan melalui teori yang dikemukakan oleh Stenberg. Sesuai teori tersebut, cinta terdiri dari tiga jenis yaitu passion (gairah, gelora, gejolak, perasaan yang mendalam), intimacy (keterikatan, kehangatan, perasaan ingin bersama dan diperhatikan) dan commitment (keinginan agar cinta dapat bertahan lama dan abadi). Agar individu dapat mengembangkan cinta yang sehat dengan lawan jenis saat dewasa, ia harus dapat menyeimbangkan ketiga jenis cinta ini. Jika cinta seseorang hanya diliputi dengan passion, ia akan mudah kehilangan cintanya terhadap pasangan ketika kemenarikan fisik pasangan mulai menurun. Begitu juga jika cinta hanya didasari oleh komitmen saja, tidak akan ada kehangatan, sentuhan emosi, dan kegairahan dalam hubungan tersebut.
Untuk mengembangkan cinta yang sehat terhadap sesama, seseorang harus berangkat dari mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu. “Ada pandangan di masyarakat bahwa ketika kita mencintai seseorang, ia harus menjadi milik kita. Padahal sebenarnya definisi cinta itu adalah ketika kita secara tulus memberikan kasih sayang kepada orang lain dalam bentuk perasaan yang mendalam. Seseorang yang terlalu menuntut cinta dari orang lain menunjukkan bahwa ia belum dapat mencintai dirinya sendiri. Masih ada kecemasan dalam dirinya bahwa ia harus dicintai dan tidak akan bisa hidup tanpa cinta dari orang tersebut,” tegasnya.
Ia pun mengungkapkan bahwa banyak juga fenomena di kalangan remaja akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa mereka rela kehilangan identitas dirinya dengan mengikuti apa saja yang diinginkan orang yang dicintainya demi mendapatkan cinta dan penerimaan. Ironisnya, beberapa remaja bahkan sudah bertindak sebagai pemilik dari kehidupan orang lain dengan cara membatasi dan mengatur kehidupan pacarnya. Mereka mengatasnamakan perilakunya sebagai wujud cinta, yang sebenarnya sudah berubah menjadi obsesi.
Di bulan penuh cinta ini, Lita mengingatkan bahwa cinta menjadi tidak penting jika hanya diekspresikan secara berlebihan dalam satu hari, satu waktu dan dalam bentuk tertentu jika di hari berikutnya kita melakukan kesalahan yang sama dengan menyakiti orang yang dikasihi. “Sebagai generasi muda, kita juga harus cinta kepada bangsa dan negara Indonesia terkait dengan tugas kita untuk memimpin dan membangun bangsa pada waktunya nanti,” tutupnya bijak. (syn/wu)