Warta
UBAYA
21-11-2024
Cyber Media
Detil Edisi Cetak dengan Rubrik :Serba Serbi
- Manggung Pakai Koteka pun Silahkan
Bagi seorang praktisi dalam bidang musik, tentunya kata “boyband” tidak asing lagi bagi Ronny Deavin Paulus Sucahyo. Ronny adalah seorang dosen Multimedia yang mempunyai spesialisasi di bidang musik. Dalam kesempatan kali ini, pria yang juga menekuni bidang hypnotheraphy ini bersedia mengungkapkan sudut pandang yang berbeda mengani keberadaanf boyband.
Pria berkacamata ini teringat di jamannya dulu ada Westlife yang dahsyat, Boys II Men yang abadi di hati, dan New Kids on the Block yang sudah almarhum. Menurutnya, boyband adalah kombinasi suara dan fisik yang memukau. “Mereka harus bisa bikin cewek-cewek berteriak histeris, bikin para gay naksir dan bikin para cowok panas pengen bersaing,” ucap pria kelahiran 31 Maret 1980 dengan tertawa.
Lalu bagaimanakah pendapat Deavin soal kemunculan boyband dalam negeri ? Direktur Improve Production ini menjawab bahwa dia hanya tahu sedikit ketika beberapa temannya berdebat. Temannya yang benci misalnya sampai menjelek-jelekan lewat akun twitter dan facebook. “Padahal saya lagunya saja sampai saat ini belum pernah denger,” akunya dengan tertawa. Menurutnya, membentuk sebuah boyband itu sulit, karena mengumpulkan beberapa ego yang masing-masing ingin menonjol. “Karena itu tidak banyak boyband yang bertahan lama. Harus dibawah manajemen dan leadership yang kuat agar dapat tetap eksis dan terus berkarya,”tambahnya.
Soal orisinalitas, pria kelahiran Nganjuk ini berpendapat bahwa semua pelaku industri musik Indonesia cuma berpikir satu hal. “Musik yang saya buat harus laku! Itu saja. Sehingga musik apapun sah-sah saja dibuat asal laku,”ujarnya. Terkadang beberapa karya tidak orisinil karena akibat perilaku konsumen juga yang kurang menghargai. “Ngapain susah-susah berkarya orisinil kalau dibajak juga?” ungkap pria yang juga menjadi pengajar vocal dan piano privat ini.
Mengenai keterkaitan boyband dengan budaya Indonesia, Deavin memiliki pendapat sendiri. Baginya musik itu bahasa universal yang bisa dipakai semua bangsa. Menurutnya, kalau kita nge-jazz, bukan berarti kita tidak memakai budaya Indonesia. Kalau kita nge-rock atau blues juga bukan berarti kita meninggalkan budaya Indonesia. “Kita bisa kok nge-jazz dengan angklung, gamelan, dan bass gembung. Kita juga bisa nge-rock dengan gitar distorted, tapi pakai kostum batik,” terang Deavin.
Pria yang memiliki motto “jadi jenius sekaligus gaul, have fun tapi banyak duit, keluarga nomor satu” ini mengungkapkan bahwa, sekarang kita hidup dalam era otak kanan. Jangan terlalu mempermasalahkan konten, dan jangan ribet dengan perdebatan. “Be creative !” tegasnya. Perhatikan kemasan dan perkenalkan budaya Indonesia ke dunia dengan cara kita sekreatif mungkin. “Kalau bisa nge jazz dengan lirik jawa, lakukan! Mau nge-dangdut dengan iringan modern dance juga boleh! Kalau bisa cuma pakai koteka waktu manggung nge-rock, silahkan!” tutup Deavin dengan tertawa. (voc)
[ Posted 26/03/2011 oleh welly ]