Cyber Media
Call Warta: 2981039
Menjalani hubungan setahap pacaran rupanya perlu pertimbangan masak-masak. Sebab, banyak konsekuensi yang harus ditanggung setelah memasukinya. Padahal, anak seusia SD pun sudah ada yang berpacaran. Sebenarnya apa sih pacaran itu? Menurut Wulan Widaningrum SPsi MPsi, seseorang dikatakan berpacaran jika memenuhi tiga kriteria yaitu intimacy, commitment, dan passion. “Nah, passion ini meliputi keinginan untuk selalu berdekatan dan gairah-gairah yang tidak muncul dalam hubungan teman atau sahabat,” terang dosen mata kuliah Psikologi Sosial ini.
Dalam dunia psikologi, tiap orang memiliki 'blueprint cinta' yang secara umum berarti kriteria. Misalnya keinginan memiliki pacar berciri tertentu, berpostur tertentu, cerdas, atau memiliki keunikan sifat tertentu. Inilah yang membuat setiap orang memilih pasangan yang dianggap baik menurut blueprint dalam pikirannya.
Lebih dalam Wulan menerangkan, jika pacaran itu sehat maka individu tersebut mempunyai partner untuk saling mengembangkan diri. Secara psikologis, dalam relasi yang dijalin bisa ada sharing dan mengandung nilai kepercayaan pada pasangan. Secara sosial, dalam mengekspresikan kasih sayang harus bisa menempatkan diri agar tidak mengganggu publik. Misalnya saja kegiatan mencium pasangan di muka umum. Secara seksual, terlebih jika sampai melakukan hubungan intim, mereka harus tahu konsekuensi tindakan mereka dan memikirkan cara yang aman. “Jika dalam tahap pacaran sudah ada kekerasan fisik mupun psikis, tentu pacaran itu sudah tidak bermanfaat lagi,” tegas lulusan Ubaya ini.
Pacaran yang dijalankan dengan sehat akan membuat individu yang terlibat dalam hubungan tersebut bersemangat. “Akan sangat ideal jika mereka bisa menjadi aktivis dan memunculkan sesuatu yang kreatif. Selain berkesan bagi mereka, orang lain pun turut merasakan manfaat,” ujarnya. Bahkan, rasa percaya diri juga terbangun berkat dukungan pasangan. Sayangnya ada kecenderungan bagi mahasiswa terlalu larut dalam relasi yang mereka bangun sehingga melupakan tanggung jawabnya. “Parahnya ada yang mulai melakukan kekerasan seperti sikap mendikte, posesif, dan memanggil dengan panggilan yang tidak disukai,” lanjut wanita asli Surabaya ini. Jika seperti itu, diramalkan hubungan yang dibina akan memberi dampak kurang baik.
Ditanya soal batasan dalam berpacaran, penyuka bakso dan soto ini menjawab selama tidak ada kekerasan dan perbedaan posisi pacaran tersebut bisa digolongkan sehat. Kekerasan yang dimaksud dalam bentuk tekanan secara psikologis dengan memanggil secara kasar atau membatasi pertemanan, maupun dalam bentuk tindakan fisik seperti menjambak atau menendang. “Juga masalah seksual, mereka harus memperhatikan itu untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan sekaligus bentuk penghargaan pada pasangan,” paparnya.
Penghobi membaca ini juga berharap adanya peran orang tua dalam merespon anaknya yang berpacaran. Sangat disesalkan jika ada keluarga yang tabu membahas pacaran namun tiba-tiba melarang anaknya berpacaran tanpa alasan jelas. Faktor ini yang kadang membuat anak memberontak pada orang tuanya. “Sebaiknya sejak awal usia puber, saat anak mulai tertarik pada lawan jenis, orang tua mulai membekali anaknya,” tukas Wulan. Bukan larangan yang harus diberi, namun penjelasan tentang berbagai konsekuensi pacaran serta bagaimana berpacaran secara sehat. “Pilihan ya tetap di tangan anak,” tutupnya. (art, mei)