Cyber Media
Call Warta: 2981039
Lalu, bagaimana dengan tanggapan universitas tetangga, Universitas Airlangga (Unair) mengenai bioskop. Yuks simak penuturannya berikut.
Di Unair, terdapat sebuah UKM yang berkonsentrasi pada bidang perfilman yaitu UKM Sinematografi. Ahmad Fakhri sebagai ketua UKM ini. Ia menuturkan bahwa menonton bioskop 3D bukanlah merupakan hal asing baginya dan anggota kelompoknya. “UKM kami memang sering mengadakan kegiatan nonton bareng, setelah nonton kami selalu mendiskusikan sebagai pembelajaran seputar film, baik cara pembuatan, kritik-kritik, maupun apresiasi terhadap film tersebut,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa menonton bioskop 3D memang memberikan sensasi yang berbeda dibanding dengan bioskop biasa. “Selain harganya lebih mahal, aku merasa film dalam format 3D, memang lebih bagus kalau disaksikan lewat bioskop 3D. Tergantung filmnya lah,” ucap Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair. Tempat duduk sewaktu menonton turut berpengaruh. “Kalau nontonya di kursi belakang, sensasinya kurang terasa,” ungkap kelahiran 12 Juni 1990.
Berbagi pengalaman nonton di bioskop 3D, Fakhri, sapaan akrabnya membeberkan bahwa Sutos XXI menjadi salah satu tempat nonton favoritnya. “Sutos merupakan bioskop pertama yang punya bioskop 3D, juga dekat rumah,” tutur pria yang mengaku hampir menonton 4 kali dalam sebulan.
Menilik soal kualitas bioskop di Indonesia, ia menilai kualitas bioskop dan perfilman di Indonesia sudah cukup bagus dan menarik. Cowok yang memfavoritkan film ‘How to Train Your Dragon’ ini mempunyai harapan tersendiri. “Efek sound di bioskop dapat lebih bagus, dan ketepatan waktu saat penggantian roll film dapat lebih ditingkatkan,” tutupnya. (caz)