Cyber Media
Call Warta: 2981039
Perkembangan teknologi semakin memanjakan penikmat bioskop tanah air. Dulunya tampilan film hanya dua dimensi, kini mampu mengajak penonton terlibat dalam dunia film tiga dimensi dengan kacamata khusus. Yah, itu lah sensasi bioskop 3D yang cukup menggemparkan di beberapa bioskop Indonesia.
“Bioskop 3D mampu menarik para penonton karena segi pencitraan visualnya lebih realistis,” buka Adhicipta R. Wirawan, ahli desain grafis 3D. Meski awalnya masih terbatas pada genre tertentu saja, dalam perkembangannya telah semakin meluas jenis film yang bisa dicakup oleh teknologi 3D.
Dosen yang aktif dalam komunitas software pengolah grafis 3D ini mengungkapkan bahwa pembuatan film 3D merupakan pemanfaatan cara kerja otak dalam mengolah informasi visual dari setiap mata. Informasi visual diterima mata kiri, lalu mata kanan yang menerjemahkan dalam dimensi lebar, panjang, dan kedalaman. “Barulah oleh otak dijadikan kesatuan informasi visual 3D atau stereoscopic,” terangnya.
Alat yang biasa dipakai membuat bias yaitu stereoscopic camera, software audio editing dengan plug in stereoscopic dan software 3D rendering. Kacamata khusus yang dipakai saat menonton berfungsi sebagai filter warna pada tiap sisi mata, yaitu merah dan cyan. Metode ini dikenal dengan istilah color anaglyphs. Namun, sekali lagi teknologi memperkenalkan metode ColorCode 3D yang mampu menghasilkan info visual lebih nyata dari metode sebelumnya.
Adhicipta sendiri mengaku lebih menikmati bioskop 3D dibanding bioskop biasa. Hal ini terkait sensasi sewaktu menonton, seakan-akan berada dalam scene film tersebut. “Meski buat saya adanya teks cukup mengganggu, tapi tidak apa-apa lah,” akunya. Pria berkacamata ini juga merasa kurang nyaman karena harus memakai kacamata khusus sekaligus kacamatanya. Namun, kenikmatan yang diberikan saat menonton dianggap mampu mengimbangi ketidaknyamanan tersebut.
Mulai banyaknya bioskop 3D sendiri seakan menjadi bukti nyata bahwa para pecinta film Indonesia menyambut positif inovasi teknologi film tersebut. Apalagi ditunjang harga tiket yang relatif sebanding dengan sensasi berbeda yang diberikan.
Indonesia pun tak mau kalah untuk menghasilkan film stereoscopic dalam bentuk 3D. Meski berdurasi hanya 15 menit, tapi film tersebut merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk menyumbang karya anak bangsa. “Indonesia mampu bila ingin berpartisipasi dalam pembuatan film 3D. Sumber daya dan teknologinya sudah sangat mendukung,” tegasnya. Ke depannya, pria ramah ini berharap lebih banyak lagi film Indonesia yang bisa dinikmati dalam versi 3D. (mei)