Cyber Media
Call Warta: 2981039
Anak cacat atau disebut juga anak marjinal seringkali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Karena keterbatasan mental maupun fisik, banyak orang meremehkan kemampuan anak-anak tersebut. Melihat hal itu, 20 September 2012 silam Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Ubaya mengadakan talkshow dengan tema “Peningkatan Potensi Anak Marjinal Sebagai Bagian dari Pemenuhan Hak Tumbuh Kembang Anak”. Bertepatan dengan hari jadi Pusham ke 17, acara ini dihadiri oleh kurang lebih 100 orang dari panti asuhan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anak yatim, LSM anak penyandang cacat, dinas pemerintah, dan jaringan lainnya.
Dalam talkshow telah diundang Surjawanto selaku pengajar pendidikan luar biasa dari Unesa, Andreas Agus KN dari Research and Education Ecoton, dan Taufik Monyong sebagai pemerhati anak marjinal dan anak jalanan. Turut hadir pula Dr Elfina Lebrine Sahetapy SH LLM sebagai moderator dan kepala laboratorium hukum pidana Ubaya.
“Tujuan acara ini adalah mendiseminasikan wacana tentang hak tumbuh kembang anak marjinal, mendiseminasikan kesadaran tentang pentingnya pemenuhan hak tersebut bagi peningkatan kualitas hidup anak marjinal. Serta menguatkan dan memperluas kerjasama Pusham dengan lembaga-lembaga yang bergerak dalam pendampingan anak marjinal,“ tutur Jane Simanjuntak yang menjadi relawan sekaligus MC pada acara tersebut. Setelah sambutan dari Jane, Surjawanto memaparkan pandangannya terkait pendidikan. “Dari 1.544.184 anak berkebutuhan khusus, ironisnya hanya sekitar 30,5% yang bersekolah dan 69,5% yang belum bersekolah. Sikap kita yang bisa dilakukan adalah memberikan pendidikan sesuai kebutuhan anak tersebut. Bagi anak berkebutuhan khusus dengan IQ dibawah rata-rata maka pemberian keterampilan perlu dilakukan. Sedangkan dengan IQ rata-rata atau di atas rata-rata maka bisa melanjutkan ke perguruan tinggi,” jelasnya. Dari segi lingkungan, Andreas Agus KN mengungkap, “seringkali anak-anak yang tidak mampu di cap dengan bodoh, dan dengan dorongan guru beranomali baik maka bisa memiliki nilai dan potensi tersendiri. Di sekitar sungai, kami membuat program sekolah sahabat sungai yang bersama-sama mendidik anak-anak. Saat ini, anak-anak rentan menjadi korban kerusakan lingkungan. Ada sekitar 60% anak menderita kanker di DAS Berantas dan 84% anak di muara kali sudah terkena slow learner. Bila tidak memberikan solusi, maka sebenarnya kita adalah bagian dari masalah itu”.
Berbeda pandangan dengan kedua pemapar sebelumnya, Taufik mengutarakan, “saya kurang setuju dengan menyebutkan anak-anak itu sebagai anak yang marjinal dan ini merupakan diskriminasi yang tidak sesuai dengan kearifan yang ada. Seharusnya bisa disebut dengan anak bangsa dan anak Indonesia daripada disebut demikian. Saya yang terlahir sebagai seniman ini melihat anak bangsa kita hebat-hebat. Potensi mereka sangat luar biasa”.
Setelah mendengar pendapat dari tiga orang tersebut, sesi tanya jawab dibuka untuk para peserta. Beberapa pertanyaan dan kritik dari pandangan yang ada membuat acara berlangsung interaktif. Sebagai penyegar acara, disajikan penampilan musik dan puisi sanggar Alfas yang beranggotakan anak-anak yang tinggal di Porong dan dilanjutkan dengan penampilan khas dari street percation. Pengumuman pemenang lomba fotografi yang juga diadakan Pusham menutup manis acara ini. (gun)