Cyber Media
Call Warta: 2981039
Oleh: Eric Wibisono
“Beberapa waktu silam, listrik di gazebo FT padam tanpa sebab. Jika diduga Ubaya belum bayar listrik, itu tidak mungkin. Jika diduga korsleting, tak juga ada teknisi yang nampak. Eh... ternyata ‘akar’ masalahnya karena sampah yang menghuni gazebo setelah ditinggalkan begitu saja oleh mahasiswa pengguna gazebo. Ckckck... Untung nggak dimatikan selamanya!”
Hati saya sangat gembira ketika beberapa bulan lalu ruang TB 1.1 tempat saya bekerja dilengkapi dengan paper bin besar berkapasitas kira-kira ¼ m3. Ini memberi solusi terhadap kebutuhan pembuangan kertas bekas yang cukup banyak bagi institusi pendidikan tinggi seperti Ubaya. Lebih penting lagi adalah untuk pembuangan dokumen sensitif yang tidak bisa sekedar dilempar ke tempat sampah, dan karena jumlahnya banyak tidak mungkin sepenuhnya mengandalkan paper shredder. Biasanya dalam waktu satu bulan paper bin itu sudah penuh. Artinya keberadaannya sangat dibutuhkan. Operasionalnya saat ini memang masih belum maksimal, karena saat penuh butuh waktu cukup lama (kurang lebih satu bulan) untuk mengosongkan. Entah di mana masalahnya, mungkin pihak pengelola dan supplier masih harus meningkatkan koordinasi.
Di negara maju, daur ulang (recycling) sudah menjadi tema umum pada industri apa pun. Botol plastik kosong ada harganya. Tempat sampah selalu dibedakan antara kering dan basah. Sama halnya seperti yang ada di Ubaya sekarang, perkantoran selalu memiliki paper bin. Pengelolaan seperti ini di negara kita masih jauh dari ideal, terutama karena kesadaran masyarakatnya. Di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, terminal paling baru yang didesain sangat modern, tempat sampah juga dibeda-bedakan. Tapi pernah ketika di sana dengan seorang rekan, saat rekan saya masih menimbang mana tempat sampah yang benar untuk membuang bekas tempat minumnya, seseorang yang berdiri di dekatnya berkomentar, “Sama saja, kok.”
Berbagai sudut Ubaya Training Center (UTC) juga sudah dilengkapi dengan tempat sampah yang dibedakan untuk organik dan anorganik. Desainnya sebenarnya masih bisa dipertegas dengan bantuan visual control, yaitu dibedakan warnanya untuk menarik awareness. Teks saja seringkali tidak cukup memudahkan untuk identifikasi. Dalam kunjungan industri yang saya lakukan beberapa waktu lalu ke pabrik Indofood di Pasuruan, saya perhatikan bukan hanya dua, tapi ada tiga tempat sampah yang disediakan di berbagai sudut, yaitu organik, anorganik, dan B3 (untuk kain terkena oli, kaleng bekas cat, dll.). Sempat saya utarakan ke rekan-rekan kerja saya, alangkah indahnya jika Ubaya juga bisa begini. Tapi respon yang saya dapat adalah: “Buang sampah saja sulit, buat apa dikasih tiga?”
Memang jika diperhatikan, gazebo-gazebo di kampus Tenggilis tempat mahasiswa sering berkumpul mengerjakan tugas selalu kotor di sore hari setelah mahasiswa pulang. Sampah-sampah bertebaran di mana-mana. Padahal tempat sampah juga belum penuh. Memikirkan mengapa seseorang sulit membuang sampah meskipun tempat sampah hanya berjarak tiga meter adalah pekerjaan sulit. Lebih sulit daripada menyelesaikan satu proyek penelitian. Satu-satunya alasan yang terpikir adalah faktor kebiasaan; kebiasaan di rumah dilayani pembantu atau selalu ada orang yang akan membuangkan sampahnya. Civilization atau peradabannya masih di situ. Memang tidak bisa dibandingkan dengan negara maju, di mana misalnya di restoran cepat saji pengunjung dengan kesadarannya membuang sampahnya sendiri sebelum pulang, meskipun janitor juga ada.
Kampanye kebersihan di Fakultas Teknik saat ini sedang digencarkan. Poster “membuang sampah itu mudah” ditempel di mana-mana. Dekan menitipkan ke seluruh dosen untuk mengingatkan para mahasiswa agar lebih menjaga kebersihan lingkungan. Manfaatnya tentu bagi kita bersama. Semoga inisiatif ini diikuti fakultas-fakultas yang lain. Jika ajakan ini tidak mendapat respon, pimpinan fakultas akan mempertimbangkan menghentikan fasilitas yang selama ini diberikan di gazebo yaitu listrik dan WiFi. Mudah-mudahan ending-nya tidak harus sampai ke situ. Mudah-mudahan persuasi yang disampaikan dapat dipahami dan diikuti dengan aksi positif, karena apa yang kita lakukan mencerminkan level peradaban kita.