Cyber Media
Call Warta: 2981039
Ada pepatah tua tua keladi, semakin tua semakin menjadi. Inilah yang dapat menggambarkan langkah-langkah yang telah diarungi Pusat Hak Asasi Manusia (Pusham) Ubaya memasuki usia ke-15. Merayakan ulang tahun biasanya dengan pesta yang mengundang banyak orang, tapi perayaan bertambahnya usia dirayakan dengan cara yang unik yakni mengadakan Diskusi Publik HAM dan Keragaman di Kota Surabaya. Genap berusia 15 tahun pada 18 Agustus 2010 lalu, Pusham masih turut mendukung upaya-upaya kemajuan HAM yang ada, khususnya di Surabaya.
Di hari jadinya Pusham tidak hanya berbagi kebahagiaan tetapi masih membantu menangani permasalahan di Surabaya. Pusham membuktikan komitmennya melalui kajian-kajian yang telah dihasilkan. Tak hanya berkutat di lapangan tetapi juga melakukan penelitian demi kemajuan pendidikan. “Walaupun Pusham Ubaya bukan satu-satunya Pusham di perguruan tinggi tetapi tetap secara konsisten melakukan kajian berkenaan dengan HAM,” ungkap Dr Yoan Nursari Simanjuntak SH MHum selaku ketua Pusham.
Berbagai topik menarik dan tak kalah penting seperti hak perempuan, anak, rakyat miskin, dan penyandang cacat menjadi bahan pembicaraan selama empat jam. Melalui diskusi yang dihadiri 120 orang undangan dari lembaga pendidikan, lembaga sosial masyarakat (LSM), instansi pemerintahan, topik seputar HAM dibahas oleh pakar-pakar di Perpustakaan lt 5.
Rakyat miskin (raskin) di kota Surabaya dapat dilihat dengan kasat mata. Hal ini tak jarang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak di Surabaya. Pemerintah Surabaya dalam diskusi ini yang diwakili oleh Wawan Widiarto dari Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, memaparkan rencana yang ditujukan demi pembangunan kota Surabaya. “Banyak hal yang dapat dilakukan dalam membantu raskin, misalnya mengurangi beban raskin sendiri dan meningkatkan pendapatan,” ujar Wawan.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), misalnya, dapat mengurangi beban raskin itu sendiri. Melalui bantuan biaya operasional pendapatan daerah yang merupakan subsidi selain BOS, pendirian posyandu, perbaikan layanan pendidikan dan kesehatan, tentunya dapat mengurangi beban keluarga. Tak jauh dari pendidikan, sekarang masih ada diskriminasi bagi perempuan untuk menuntut ilmu. “Masih ada kesenjangan yang dirasakan perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan,” tambah Pinky Saptari, staf ahli Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
Masih adanya permasalahan di Surabaya yang berkaitan dengan gender dan anak. Perdagangan, prostitusi, kekerasan masih kerap kali terjadi pada perempuan dan anak. Perempuan dan anak saling dikaitkan. Tak jarang perempuan melakukan kekerasan kepada anak baik secara non verbal ataupun verbal. “Mudah saja melihat kasih sayang orang tua. Lihat saja saat belanja, lebih banyak siapa yang membeli barang, anak atau ibu,” canda Drs. Bagong Suyanto M.Si dosen FISIP Unair.
Orang Indonesia menganggap kalau anak masih merupakan tanggung jawab keluarga dan dipandang sebagai urusan intern. Ketika melihat tetangga memaki dan memukuli anaknya, orang hanya diam. Jika berkomentar, pasti terlontar “Ini anak saya. Ini urusan saya”. Salah satu peserta diskusi, Isnawati, turut prihatin saat melihat seorang ibu memukul anaknya dan berakhir dengan saling memukul. Tak ada hak bagi orang luar untuk ikut campur. Namun begitu ada berita kematian anak karena aniaya orang tua membuat masyarakat turut prihatin.
Hak anak perlu dilindungi. Setelah pemenuhan hak perempuan, baik di politik, pendidikan, kian menjadi sorotan kini perlindungan hak anak sebagai penerus bangsa perlu ditindaklanjuti. Di Surabaya sendiri banyak mal dimana-mana. Pusat perbelanjaan satu demi satu dibangun. Mal-mal lebih banyak dibangun daripada taman bermain. Bagaimana dengan nasib anak Surabaya? Kini anak-anak pun lebih suka bermain game yang selalu berhubungan dengan menang kalah. Jika terus berlangsung hingga dewasa kelak, bisa-bisa terjadi pembunuhan.
Jika permasalahan hak terjadi pada perempuan, anak, dan rakyat miskin, bagi penyandang cacat terjadi pelanggaran hak. Dalam hal ini Wurí Handayani, Direktur LSM D-Care, turut angkat bicara mengenai hak penyandang cacat dan permasalahan pemenuhannya di kota Surabaya. “Sumber pelanggaran atas penyandang cacat yang terutama yakni tidak adanya data jumlah penyandang cacat yang valid,” ujar Wuri. Data di Dinas Sosial maupun WHO tidaklah sesuai. Wuri berharap pemerintahan kota memperhatikan ini karena mempengaruhi perbaikan sarana, sekolah khusus penyandang cacat. (rin)