Cyber Media
Call Warta: 2981039
“Saya lebih bagus punya target tinggi tidak tercapai daripada target rendah saya tercapai”
Inilah moto Jucky Santoso MM, direktur Universal Trading dalam mengembangkan usaha bisnisnya yang khusus menangani pemasaran bidang ekspor dan impor. Siapa yang bisa menduga bisnis bidang jasa ini menjanjikan profit yang besar dan mengangkat produk-produk lokal menjadi bisnis yang berskala internasional.
Alumni Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Ubaya, angkatan 1989 ini melanjutkan pendidikan S2 di Internasional Bisnis di Australia setelah lulus dari Ubaya. Ia tidak langsung membuka bisnis sendiri setelah menimba ilmu di Australia tetapi bekerja di perusahaan ternama dulu. Semula ia bekerja di perusahaan pangalengan ikan tuna. Kariernya melejit hingga menduduki jabatan manajer dibidang impor dan manajer representatif untuk ISO.
Setelah menekuni karier di perusahaan orang, hati dan pikirannya berubah hingga memutuskan untuk mendirikan usaha sendiri sejak tahun 2004. Nama organisasi bisnis yang didirikannya Universal Trading. Karyawannya hanya 1 orang. Sekarang sudah ada 7 orang karyawan. Bisnisnya ini menurut pengakuannya, khusus memasarkan produk dari Indonesia ke luar negeri dan memasarkan produk impor di Indonesia. Mendirikan usaha untuk mencari pasar di luar negeri atas produk-produk Indonesia ini mempunyai visi pribadinya, “Kalau bisa menjadi berkat bagi orang lain”. Dalam spiritnya ia ingin menjadi peran dalam hatinya yaitu segala usaha bisnisnya harus menjadi berkat untuk orang lain.
Rajin pangkal kaya bukan hemat pangkat kaya
Yang terpenting juga dalam berwirausaha adalah jangan malas bekerja dan berpikir. Sebab kita sudah dikarunia berbagai talenta. Ada yang dapat 5 talenta, 2 talenta, 1 talenta. Lima talenta bisa mendapatkan hasil yang berlipat ganda kalau kita mau bekerja rajin dalam arti tidak malas-malas.
Dalam mengembangkan talenta ini kita harus mempunyai spirit untuk mencari yang luar biasa, tetapi bagus itu tidaklah cukup. Dalam semboyannya kita kenal dengan sebutan the excellence is expected, good is not enough.
Orang tua kita, papar anak pasutri Tommy Santosa dan Juni Mettawati, selalu mengajarkan supaya jangan jadi anak yang malas. Hal ini yang selalu ditakuti orang tua kita. Kalau bakat, talenta, kemampuan otak setiap anak boleh saja tidak sama tetapi jangan sampai menjadi anak yang malas. Sebab kalau kita sudah punya penyakit malas, kita sudah tidak mempunyai spirit untuk maju berjuang untuk meraih kesuksesan dalam mengejar target yang tinggi.
Untuk mencapai target yang tinggi, ia juga mengakui, orang yang pintar dalam arti IP bagus memang perlu. Tetapi yang perlu adalah bagaimana membentuk pola pikir yang selalu mau belajar, mau maju. Tidak boleh puas dengan level yang sudah diperoleh. “Orang tua saya selalu mengajarkan rajin pangkal kaya, bukan hemat pangkal kaya,” paparnya. Orang tua bilang begitu, kata Jucki, karena dari pengalamannya ia mengamati orang pintar bisa saja dia belajar 1 jam untuk suatu pengetahuan tertentu bisa mudah dimengerti. Sedangkan orang yang tidak pintar bisa belajar sampai 5 jam untuk menguasai bidang ilmu tertentu. Masalahnya orang yang pintar tidak selalu rajin. Contoh lain yang ditemuinya, tim kerja yang terdiri dari anak yang pintar tidak terlalu rajin. Ini artinya yang pintar mempunyai character yang malas.
Selain itu, faktor kerajinan katanya, juga faktor integritas. Biasakan janji tepat waktu kalau ada janji ketemu dengan teman bisnis. Misalnya janji ketemu jam 10, terus kita datang telat. Kalau telat ketemu harus telpon datang telat. Jangan berdiam diri saja tanpa memberi informasi kepada teman yang sudah kita janji untuk ketemu.
Hal yang tidak kalah penting, tutur suami Margaretha Toeti, menjaga kepercayaan yang sudah dipercayakan orang terhadap kita. Kalau sudah mendapatkan kepercayaan kita harus berkarya dengan maksimal. Bila perlu semua potensi harus diberikan kepada orang yang sudah menanamkan kepercayaan terhadap kita. Untuk mencapat target kita harus bisa memanfaatkan kepercayaan yang sudah kita terima dari orang lain. Karena itu, dalam bekerja kita jangan menjadi penonton saja tetapi jadilah pemain atau pelaku bisnis.
Menurut ayah dari 2 anak, Alexandra Bellina Santosa, Kayla Bridgitta Santosa, faktor lain dalam membangun sebuah menara bisnis adalah membangun sistem kerja yang bagus melalui leader. Bangunkan leader dalam perusahaan seperti dalam militer yang mempunyai kopasus (pasukan khusus), pasukan elit, pasukan kelas menengah, pasukan kelas bawah. Semua orang harus berperan dalam banyak hal yang sesuai dengan tugas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Yang tidak kalah penting dalam membangun sebuah usaha bisnis adalah tergantung yang kuasa. Karena itu kita butuh orang yang mempunyai spiritual yang tinggi untuk bisa memberikan energi dan kekuatan dalam berkarya. Semua agama kita rangkul. Tetapi kita selalu mencari orang yang mempunyai spiritual yang tinggi. Dalam arti kehidupan agamanya bagus, spiritualnya juga bagus, ujarnya.
Bedanya otakmu dengan tukang becak
Pesan yang tidak kalah penting dari alumni kelahiran 13 Juni 1971 ini mahasiswa belajar jangan hanya kejar nilai yang tinggi. Nilai yang tinggi memang perlu tetapi harus dilengkapi dengan faktor soft skill yang bagus. ”Zaman kami kuliah dulu kami merasa semua ilmu itu bermanfaat. Bahkan sampai sekarang kita merasakan manfaatnya. Dan tahan banting dalam arti karakternya sangat tinggi. Sekarang ini yang saya amati nilainya tinggi-tinggi tetapi faktor ketahanan fisiknya kurang kuat,” ujarnya. Sebab faktor kualitas itu tidak hanya diukur dari aspek nilai saja tetapi juga faktor leader, soft skill yang bagus juga sangat perlu di dunia kerja.
Sebagai contoh tuturnya, ”Waktu kita ditanya sama dosen dan terus menerus kita menjawab dan dosen juga tanya tidak habis-habis. Karena kita berhasil memberikan jawaban, lalu dosen mengatakan ’ itu bedanya otakmu dengan otak tukang becak’. Sampai hari ini saya ingat betul apa yang disampaikan dosen”.
Apa yang disampaikan dosen, jelasnya, kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir setiap kali ada pertanyaan dari dosen-dosen. Bahkan kita selalu berusaha untuk mencari solusi atas persoalan yang ditanyakan dosen. Kebiasaan membangun pola pikir yang dibentuk dosen ketika kita kuliah dulu sampai sekarang kita sudah terbiasa jika kita mengalami masalah di tempat kerja. Kita terbiasa mencari solusi-solusinya. Dan inilah ilmu soft skill yang kita dapatkan dari dosen dulu, dengan gampang kita mengingatnya sampai sekarang daripada hard skill. Karena yang dibentuk adalah cara berpikir. (Loys)