Cyber Media
Call Warta: 2981039
Banyak mahasiswa yang mengharapkan bisa lulus dengan IPK sempurna alias 4,00. Namun, wisudawan satu ini malah mengaku tidak terlalu menginginkannya. Lho???
“Soalnya mahasiswa dengan IPK 4,00 itu kesannya terlalu sempurna. Kalau dibayangkan orangnya pasti kutu buku, kacamatanya tebal, suka baca buku tebal, hobinya belajar. Padahal aku nggak seperti itu lho,” tegas Anggie Anggana Tanaja ST, wisudawan FT dengan IPK 3,986 ini. Lulusan jurusan Teknik Kimia inipun mengaku memiliki strategi khusus untuk meraih IPK tersebut yaitu melakukan perhitungan nilai dan menyusun skala prioritas. Memperhatikan penjelasan dosen di kelas dirasanya menjadi 50% modal untuk menghadapi ujian
Untuk kelas kecil yang untuk mencapai nilai A-nya cukup dengan 75, Anggie memaksimalkan untuk mendapat nilai bagus di UTS. Jika nilainya sudah maksimal, untuk UAS ia pun hanya perlu menambah nilai sedikit lagi. Jadi, jika di saat UAS ada ujian untuk mata kuliah lain, ia pun bisa lebih fokus untuk mata kuliah lainnya. “IP-ku memang tinggi, tapi sebenarnya banyak teman yang lebih pintar dari aku. Cuma kurang beruntung saja,” lanjutnya rendah hati.
Kendala yang muncul di tengah perjalanan kuliah diakuinya tak terhindarkan memang. Menurutnya ada beberapa dosen yang punya banyak ilmu namun kurang pandai mengajar. Sebaliknya, ada juga dosen yang mengajarnya enak namun kurang pengetahuan. “Knowledge transferring-nya kurang deh,”pungkas cowok yang sempat bercita-cita memiliki pabrik coklat ini.
Menyandang IPK hampir sempurna pun sebenarnya bukan targetnya maupun tuntutan orang tua sebab sejak SMP orang tuanya tak pernah lagi mempermasalahkan nilainya. Justru dari situlah ia merasa dipercaya dan tidak menyepelekan kepercayaan dari orang tuanya. “Aku bersyukur juga Ubaya mengapresiasi mahasiswa ber-IP tinggi dengan beasiswa kurikuler. Ini memang memotivasi tapi bagiku yang terpenting tetap ilmu yang kudapat,” ucapnya.
Anggie pun berpesan bagi mahasiswa Ubaya agar tidak terpancang pada IP sebagai goal namun untuk mendapat ilmu semaksimal mungkin. “IP tinggi dan beasiswa cuma bonus, yang utama ilmu tersebut bisa diimplementasi,” tutupnya berfilosofi. (vqs/wu)