Cyber Media
Call Warta: 2981039
TEKNIS PENILAIAN
“Apakah nilai A pada mata kuliah Matematika di semester ini lebih berbobot dibandingkan dengan semester lalu?” tanya seorang mahasiswa kepada dosen pengajar Matematika. Dosen tersebut menjawab, ”Sama.” Mahasiswa lainnya kemudian bertanya, ”Apakah dengan IP rata-rata yang meningkat berarti meningkat pula mutu kelulusan?” Dosen itu tidak menjawab.
Penilaian adalah suatu tahapan proses belajar mengajar. Tahap awalnya dimulai dari persiapan bagi dosen yang mengajar maupun mahasiswa yang belajar. Dosen mempersiapkan rencana belajar berupa materi perkuliahan yang akan diajarkan selama satu semester termasuk rencana evaluasinya. Biasanya hal itu disampaikan kepada mahasiswa di awal kuliah sebagai garis besar supaya mereka bisa mempersiapkan diri untuk mengalokasikan waktu belajar.
Tahap selanjutnya adalah perkuliahan yang merupakan interaksi antara dosen dan mahasiswa. Melalui proses ini, mahasiswa memperoleh tambahan pengetahuan maupun keterampilan. Sedangkan dosen memperoleh kemantapan dan kematangan. Kedua hal ini tidak bisa diukur, hanya bisa dirasakan oleh masing-masing individu.
Penilaian merupakan upaya mengukur hasil proses belajar. Seharusnya penilaian juga berlaku untuk para dosen, namun sudah terlanjur salah kaprah. Yang terjadi sekarang penilai itu adalah dosen, sedangkan mahasiswa adalah pihak yang dinilai. Pihak penilai seakan-akan memiliki ‘kuasa’ terhadap pihak yang dinilai.
Teknis penilaian adalah ketika pemberian angka mulai 0 sampai 100. Nilai 100 menunjukkan bahwa proses belajar berjalan sempurna. Artinya, bila penilaian berupa soal dalam suatu ujian maka semua soal bisa dijawab tanpa kesalahan. Nilai nol artinya ‘kertas kosong’ atau hanya mengumpulkan lembar jawaban tanpa menjawab soal.
Selanjutnya, nilai angka tersebut dikelompokkan menjadi nilai relatif dengan bobot tertentu: A (istimewa, bobot 4), AB (sangat baik, bobot 3,5), B (baik, bobot 3), BC (cukup baik, bobot 2,5), C (cukup, bobot 2), D (kurang, bobot 1), dan E (gagal, bobot 0). Pembobotan ini berlaku umum untuk seluruh perguruan tinggi.
Batas nilai relatif ini umumnya ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi. Misalnya batas untuk nilai A adalah 81, berarti mahasiswa akan memperoleh A apabila berhasil mendapat nilai di atas angka 81 pada suatu mata kuliah. Dan mahasiswa yang nilainya dibawah 40 dianggap gagal, sehingga memperoleh nilai E. Pengelompokan nilai relatif ini juga bisa dilakukan dengan metode statistika.
Hasil kali bobot mata kuliah (sks) dengan bobot nilai untuk setiap mata kuliah dibagi dengan jumlah total sks dikenal sebagai indeks prestasi (IP). IP tertinggi seorang mahasiswa adalah 4, artinya mahasiswa tersebut memperoleh nilai relatif A untuk semua mata kuliah yang diikutinya. Mahasiswa umumnya dinyatakan lulus manakala memiliki IP minimal 2.
Hal terpenting dari teknis penilaian adalah ketika pemberian angka 0 sampai 100. Makna angka yang diraih oleh seorang mahasiswa pada suatu mata kuliah menentukan mutu proses belajarnya. Kalau dalam satu mata kuliah semua mahasiswa memperoleh nilai di atas 85, artinya semua mahasiswa itu ‘istimewa’ atau dosen yang memberi nilai terlalu ‘murah’. Sebaliknya manakala semua mahasiswa meraih nilai dibawah 40, apakah dosennya sangat pandai sehingga tidak terjangkau oleh para mahasiswa.
IP rata-rata lulusan bisa direkayasa melalui teknis penilaian. Misalnya, bila batas nilai B dan AB dibuat lebih rendah maka sebagian besar mahasiswa bernilai B atau AB, dengan kata lain IP rata-rata menjadi tinggi sekitar 3 sampai 3,5. Atau bisa saja dengan dosen yang memberi nilai murah meriah.
Akhirnya tanggung jawab penilaian kembali kepada dosen. Cakupan materi perkuliahan dan penilaian bisa dievaluasi lewat konsistensi seorang dosen mempertahankan mutu pembelajarannya. Tugas penting bagi pimpinan perguruan tinggi adalah menciptakan kondisi agar pembelajaran yang bermutu bisa berkesinambungan.