Cyber Media
Call Warta: 2981039
Banyaknya pro-kontra mengenai kebijakan Dikti ini menimbulkan kontrofersi di dunia perguruan tinggi. Menilik hal tersebut, kali ini WU menguak pandangan dari Dosen Universitas Aerlangga (Unair) mengenai kebijakan pembuatan jurnal bagi lulusan S1. “Kebijakan itu bagus untuk publikasi dan Saya sendiri mendukung adanya kebijakan tersebut dan Saya sudah menganjurkan mahasiswa skripsi untuk mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk jurnal sebelum kebijakan itu ada,” tutur Dr Deny Arnos Kwary selaku Dosen Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Inggris.
Kesiapan untuk mengadaptasi kebijakan mempublikasi jurnal pun menjadi masalah khusus yang harus diperhatikan. “Jurusan Sastra Inggris Unair sendiri sudah saya nilai siap untuk mempublikasikan jurnal. Sudah ada pembekalan kepada mahasiswa pada mata kuliah khusus dengan nama Independent Studies In Linguistic mengenaicara penulisan jurnal,” jelas Deny. Ia mengungkap bahwa sebenarnya menulis jurnal ilmiah hanyalah seperti meringkas skripsi yang telah dikerjakan dengan format yang ada.
Jurnal yang lulus dengan nilai A sampai C hendak dipublikasi akan diberikan pada editor, diperiksa kembali oleh reviewer, lalu baru dipublikasikan. “Tentunya ada revisi-revisi yang diberikan oleh reviewer untuk menjaga kualitas jurnal dan dosen-dosen dari jurusan sendiri yang akan bertugas menjadi editor dan reviewer,” tutur Deny yang sampai saat ini sudah mempublikasikan kurang lebih 10 buah jurnal ilmiah dalam terbitan Afrika, Kota Shanghai, Universitas Oxford, dan lainnya.
Tugas tambahan untuk dosen terkait jurnal ilmiah yang diberikan, bisa menjadi beban kerja yang cukup menyita waktu. Dosen yang bertugas sebagai editor harus menyesuaikan jurnal ilmiah yang akan dipublikasi dengan format yang ada, sedangkan yang bertugas sebagai reviewer bertugas menjaga kualitas isi dari jurnal yang akan dipublikasi. “Menjadi kendala bila reviewer dihadapkan pada jurnal ilmiah yang bernilai C, karena pasti menyita waktu untuk sejumlah revisi yang berbeda dengan mahasiswa S2 yang siap mempublikasi dengan nilai standar A atau B pada jurnalnya,” tuturnya.
Deny yang bekerja sebagai reviewer pada ESP (English for Specific Purposes) dan mendapat akses ke seluruh jurnal internasional dalam Scopus ini berpendapat, “Seharusnya pemerintah tidak langsung mewajibkan mahasiswa untuk mempublikasikan jurnal ilmiah, tapi setidaknya ada anjuran terlebih dahulu atau masa percobaan sebab bila tidak ada mata kuliah khusus maka dapat muncul kendala-kendala tertentu,” tutup Deny.(gun/wu)