Cyber Media
Call Warta: 2981039
Mengingat jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Indonesia yang masih sangat rendah, tentu pemerintah ingin membenahinya. Dilihat dari tujuannya, surat edaran dari Dikti tersebut merupakan ketentuan yang sangat baik, bahkan juga sangat ideal. Akan tetapi hal tersebut kurang pas dalam substansi, timing dan prasyarat, maupun sasaran objeknya.
Hal ini dikatakan ideal karena kemampuan lulusan dalam melaksanakan riset dan melaporkan hasil discovery-nya memberikan jaminan dan cermin bagi kualitas lulusan. “Pengalaman saya membuktikan bahwa jika proses (prosedur) riset dilaksanakan secara baik dan lancar melalui interaksi yang wajar antara mahasiswa dengan pembimbingnya, maka karya tulis ilmiah yang dihasilkan mahasiswa pasti berkualitas. Dalam praktiknya, memang tidak demikian. Banyak dijumpai pembuatan karya tulis (laporan riset) yang diproduksi oleh pihak ketiga berdasarkan pada transaksi jasa pembuatannya, bukan jasa mencetak dan menggandakan,” ungkap Prof Drs ec Wibisono Hardjopranoto MS, mantan rektor Ubaya.
Pendidikan program sarjana, magister, dan doktor memang merupakan lingkup pendidikan akademik. Namun tidak semua program bermaksud membangun kompetensi lulusan yang dapat dievaluasi melalui kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah yang berbasis pada riset. Misalnya, pendidikan dalam bidang ilmu hukum lebih ditekankan pada kompetensi penulisan dokumen-dokumen hukum, baik legal drafting maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan acara peradilan. Apalagi pendidikan sarjana seni, kompetensinya pasti bukan pada penulisan karya ilmiah tetapi lebih pada pembuktian kompetensi dalam bentuk karya seni.
Berapa besar kapasitas semua jurnal ilmiah yang dapat memfasilitasi publikasi tersebut? Ini baru masalah kuantitas, belum masalah kualitas. Ketentuan Dirjen Dikti tersebut harus disesuaikan agar lebih proporsional, yakni diperbaiki substansinya, dipertimbangkan faktor timing dan dipersiapkan prasyarat implementasinya. Semua perguruan tinggi harus mempersiapkan diri untuk lebih menata kurikulumnya, terutama yang berkaitan dengan pembuatan karya ilmiah, seperti metode riset, bahasa, statistika, logika dan juga matematika. “Di sisi lain, penerbitan berbagai jurnal harus diperbanyak, tidak hanya di berbagai jurusan atau fakultas, tetapi setiap laboratorium sebaiknya memiliki jurnal ilmiahnya sendiri-sendiri. Untuk mahasiswa, saya menganjurkan untuk bersedia untuk berkeringkat dalam proses pembelajaran, bahkan jika perlu harus berdarah-darah,” tutup Pak Wibi bersahabat. (mdi/wu)