Cyber Media
Call Warta: 2981039
Bulan Januari lalu, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya kebijakan oleh Dikti Kemendikbud...
Setiap mahasiswa S1 nantinya diwajibkan menyusun karya ilmiahnya untuk dipublikasikan dalam jurnal ilmiah sebagai prasyarat kelulusan. Mendengar kebijakan yang berlaku mulai Agustus 2012 nanti, tentu banyak mahasiswa yang bergidik ngeri. Jangan takut dulu kawan, karena kebijakan tersebut ternyata membawa banyak efek positif bagi kita semua…
Tahukah kalian bahwa Indonesia termasuk negara dengan publikasi karya ilmiah yang sangat rendah? Untuk memperbaiki peringkat buruk tersebut, diadakanlah kebijakan pembuatan jurnal bagi mahasiswa S1. Berdasarkan Rembuk Nasional tahun 2010, pemerintah ditugaskan untuk menggalakan publikasi karya-karya ilmiah mahasiswa. “Bangsa kita ini kurang publikasi padahal melalui media inilah kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus meningkatkan kualitas perguruan tinggi yang ada,” ungkap Prof Dr H Sugijanto MS Apt selaku koordinator Kopertis Wilayah 7 Surabaya.
Selain meningkatkan publikasi, pembuatan jurnal juga dimaksudkan untuk menghindari duplikasi seperti yang sering terjadi belakangan ini. “Lebih baik dipatenkan daripada diakui negara lain,” imbuhnya. Publikasi jurnal memudahkan orang lain untuk bisa membacanya dan ilmunya tidak akan mandeg di tempat. Selain itu, kebijakan ini juga dapat meningkatkan budaya menulis yang mulai memudar.
Nah, bagaimana cara menulis jurnal yang baik dan benar? Sugijanto menyimpulkan bahwa kejujuran lah yang utama. Membuat jurnal harus mengikuti aturan yang ada, termasuk metodologi ilmiahnya. Jika yang akan diteliti merupakan hal baru dan belum pernah ada sebelumnya, tentunya akan menjadi lebih menarik. Bisa juga dengan merombak ulang skripsi yang sudah dibuat lalu mengunduhnya ke dunia maya.
Pemberlakuan kebijakan ini tentunya tak luput dari penolakan sejumlah kalangan. “Sempat geger di awal tahun 2012, karena orang kebanyakan takut pada perubahan padahal mereka belum mencoba,” terang pria ramah tersebut. Kebijakan ini juga tidak akan berjalan tanpa didukung SDM yang ada. “Kemampuan itu ada, tapi kemauan yang susah didapat,” terangnya. Padahal jika dilihat, Indonesia memiliki lebih dari 3.000 perguruan tinggi. So, jangan takut lagi sama jurnal. Take this as a new challenge! (tif/wu)