Cyber Media
Call Warta: 2981039
“Apa beda ijazah dan sertifikat? Tanya seorang mahasiswa baru kepada seorang dosen senior dalam suatu ceramah tentang lowongan kerja. Dosen itu menjawab:”Ijazah diberikan sebagai tanda telah menyelesaikan suatu program studi di suatu perguruan tinggi, sedangkan sertifikat diberikan sebagai tanda telah menyelesaikan proses sertifikasi”. Mahasiswa itu pun bertanya lebih lanjut: “Apa perbedaan menyelesaikan kuliah dibanding meyelesaikan proses sertifikasi, mana lebih berat?”
Kalau pertanyaan tersebut diteruskan berkenaan dengan pihak mana atau siapa yang memerlukan sertifikasi, apakah ijazah masih belum cukup, bukankah mahasiswa yang lulus sudah menerima ijazah, mengapa harus ditambahkan sertifikasi, maka jawabannya harus dikaitkan dengan praktik yang terjadi selama ini.
Kalau kita menganggap lulusan adalah calon pekerja (employee) maka perusahaan atau pemberi kerja (employer) memiliki lowongan dengan segala persyaratannya. Bisa saja terjadi lowongannya sedikit tetapi para calon pekerja yang memenuhi syarat sedemikian banyak. Perusahaan bisa memilih dengan leluasa calon mana yang terbaik. Atau sebaliknya, lowongan banyak dan calon pekerja sedikit, maka kemungkinan semua calon pekerja bisa langsung diterima.
Bagaimana bila lowongan banyak dan calon pekerja juga banyak tetapi tidak memenuhi syarat? Inilah masalahnya. Bisa saja perusahaan ingin pekerja yang siap pakai sehingga hanya mau menerima pekerja yang sudah berpengalaman. Sedangkan calon pekerja sebagaian besar lulusan yang belum berpengalaman. Bagaimana mengatasi keadaan ini?
Dari sisi perusahaan sebaiknya meninjau kembali persyaratan yang ditetapkan. Apakah sudah tepat sasaran? Misalnya, perusahaan hanya mau menerima pekerja dengan indeks prestasi di atas 3. Artinya, perusahaan berusaha mendapatkan calon pekerja yang kemampuan akademisnya di atas rata-rata. Bukankah mayoritas mahasiswa ber-IP di bawah 3? Terkesan perusahaan mau enaknya sendiri. Padahal perusahaan bisa saja melatih dulu calon pekerjanya supaya memenuhi syarat yang mereka tetapkan sendiri.
Dari pihak perguruan tinggi tentu kesulitan kalau semua lulusannya diberi IP di atas 3 hanya supaya bisa memenuhi syarat yang diminta perusahaan. Karena jelas IP tertinggi adalah 4. Apakah nilai terendah haruslah B agar mahasiswa bisa ber-IP 3? Atau nilai di bawah B dianggap tidak lulus?
Kembali pada hukum permintaan (lowongan) dan penawaran (calon pekerja). Bila perusahaan sangat membutuhkan pekerja maka mereka tentunya bersedia menyiapkan pelatihan khusus kepada para calon pekerja dan kemudian memberi sertifikat khusus berkenaan persyaratan yang sudah bisa dicapai. Bila calon pekerja yang lebih membutuhkan maka bisa saja meminta pihak kampus untuk memberikan pelatihan tambahan agar bisa memenuhi syarat perusahaan. Tanda telah mengikuti pelatihan itu bisa brrupa sertifikat khusus.
Sertifikasi menjadi salah satu tanda bahwa pemilik sertifikat berkompetensi tertentu sehingga diharapkan memenuhi syarat yang diminta dunia kerja. Hanya apakah sertifikasi itu telah dilakukan dengan proses yang benar? Atau bukti sertifikat hanya sekedar syarat saja? Misalnya, lulusan diberi tambahan sertifikat tertentu tanpa tambahan pelatihan yang memadai.
Karena itu sudah waktunya pasar tenaga kerja dibangun bersama antara penghasil pekerja dalam hal ini adalah pihak perguruan tinggi dengan perusahaan yang memerlukan pekerja. Perlu dicapai suatu cara pandang yang sama apakah memang sertifikasi itu diperlukan? Kalau memang diperlukan maka perlu disepakati siapa yang berwenang mengeluarkan sertifikat tersebut disertai proses yang bisa dipertanggung jawabkan.