Cyber Media
Call Warta: 2981039
“Apakah kelulusan itu bisa distandarkan?”, tanya seorang dosen muda kepada dosen senior dalam acara orientasi dosen baru. Dosen senior itu terdiam sejenak dan kemudian menjawab perlahan: “Bisa, tetapi sangat relatif”. Dosen baru itu kemudian bertanya lagi:”untuk apa standarisasi itu?”. Dosen senior itu tidak menjawab.
Istilah standarisasi menjadi sangat populer saat ini. Awal mula istilah itu dipakai dalam dunia produksi yang mana hasil produksi berupa barang nyata harus memenuhi syarat minimal tertentu untuk bisa layak dijual. Produk yang dianggap tidak memenuhi syarat akan diproduksi ulang, diperbaiki atau dibuang. Memenuhi standar berarti memenuhi kualitas tertentu. Karena itu proses produksi harus diawasi agar memenuhi standar minimal.
Dari standar produk berkembang menjadi standar jasa. Contoh sederhana adalah jasa angkutan yang memindahkan atau mengantar barang produk dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Syarat utama adalah barang yang diantar harus tidak berubah kualitasnya atau tidak rusak, serta tiba di tempat tujuan tepat waktu. Kalau barang yang diantar kemudian rusak atau hilang maka dianggap layanan jasa tidak memenuhi standar dan perusahaan jasa bisa dikenakan pinalti/hukuman berupa penggantian atau denda. Produk dan jasa sangat menentukan dalam kegiatan sosial ekonomi saat ini.
Lulusan perguruan tinggi tidak bisa dikelompokkan sebagai produk barang atau jasa. Lulusan adalah seorang individu manusia yang pada dasarnya memproses dirinya sendiri. Pengalaman belajar, atau apa yang dirasakan oleh masing-masing individu dalam proses pembelajaran tidaklah sama. Kenyataan ini meminta berbagai pihak untuk lebih hati-hati dalam mendifinisikan standar kelulusan.
Syarat utama seorang dinyatakan lulus suatu program studi adalah telah menyelesaikan serial proses pembelajaran sesuai kurikulum dengan nilai cukup. Dalam sistem kredit semester (SKS) nilai itu dinyatakan sebagai indeks prestasi (IP). Kalau nilai rata-rata adalah cukup dinyatakan dengan IP = 2 dan IP maksimal adalah 4, maka mereka yang memperoleh IP mendekati 4 disebut berprestasi dan IP = 2 dijadikan syarat minimal.
Jadi hal yang bisa dijadikan standar adalah kriteria atau atribut dalam pribadi lulusan yang bisa diukur. IP menjadi salah satu contoh atribut yang bisa diukur. Kalau kemampuan berkomunikasi yang dijadikan kriteria maka harus dijelaskan bagaimana mengukur kemampuan berkomunikasi itu. Misalnya, mampu membuat tampilan presentasi dalam power point dan menyampaikannya di hadapan umum dengan lancar. Syarat minimalnya menjadi: membuat tampilan sesingkat mungkin dan benar, serta bisa menjelaskan apa yang ditampilkan dengan benar pula.
Kalau syarat minimalnya adalah kemampuan Bahasa Inggeris maka hasil tes seperti TOEFL atau IELTS bisa dijadikan syarat kelulusan. Misalnya, lulus program S1 bila nilai TOEFL (paper base) minimal 450. Kalau kriterianya lebih abstrak, misalnya, “berbudi pekerti luhur”, maka sangat sulit mengukur apa yang disebut berbudi pekerti luhur tersebut.
Karena kurikulum tersebut mencakup berbagai matakuliah dan setiap program matakuliah merupakan proses pembelajaran yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu ( 1 semester) maka standar kelulusan sangat bergantung pada proses belajar dari waktu ke waktu. Misalnya, setelah belajar 3 minggu maka pengetahuan atau keterampilan yang harus dikuasai mahasiswa sudah harus ditentukan. Alat ukurnya adalah tugas-tugas yang diberikan. Artinya mahasiswa harus menyelesaikan tugas secara benar dan dikoreksi dengan benar oleh dosen. Setelah belajar 7 minggu atau tengah semester, mahasiswa akan diukur dengan ujian (UTS). Soal-soal UTS haruslah memenuhi standar. Jawaban mahasiswa dikoreksi kemudian dikembalikan kepada mahasiswa sebagai umpan balik evaluasi apakah standar telah dipenuhi.
Manakala standar proses tidak dipenuhi maka dimungkinkan mahasiswa yang dinyatakan lulus tidak mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan hasil pembelajaran. Penyebabnya antara lain soal-soal UTS dan/atau UAS terlalu mudah, dosen yang sering tidak masuk atau materi pembelajaran yang tidak terstruktur dengan baik.
Selanjutnya tergantung pada pribadi mahasiswa dalam memproses dirinya sendiri. Mahasiswa yang sadar akan mempersiapkan diri semaksimal mungkin dan mau belajar mandiri. Bantuan dosen sangat berperan untuk membangkitkan semangat mahasiswa agar terus membekali diri sebaik-baiknya. Manajemen perguruan tinggi diharapkan menyediakan berbagai sarana dan fasilitas demi terciptanya suasana belajar yang menggembirakan. Pada kondisi ini, standar kelulusan akan tercipta dengan sendirinya tanpa harus direkayasa – standarisasi kelulusan tidak perlu dipaksakan.