Cyber Media
Call Warta: 2981039
Jika ada yang membayangkan kuliah di luar negeri jauh lebih sulit dibanding Indonesia, pemikiran itu harus mulai ditilik ulang. Pasalnya, jika DIKTI jadi mewajibkan mahasiswa S1 membuat jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan, hal itu rupanya tak berlaku di negara maju macam China dan Prancis…
Sedikitnya jurnal ilmiah yang ada di Indonesia membuat pemerintah memutar otak mendorong mahasiswa menghasilkan karya tulis tersebut untuk mendongkrak jumlah jurnal di Indonesia. Bercermin dari niat baik tersebut, pemerintah masih perlu meninjau ulang kesiapan mahasiswanya lagi. Mari kita melihat perbedaannya seperti yang dituturkan Sun Yong Jin dan Coumba Sakho.
Di China tempat asal Sung Yong Jin, jurnal ilmiah hanya dikerjakan oleh para calon S2 dan S3 dengan cara pengerjaan seperti di Indonesia. Mahasiswa diwajibkan membuat suatu penelitian terlebih dahulu baru kemudian membuat laporan penelitian. “Tiap mahasiswa akan dibantu oleh satu atau dua orang pembimbing, tak jauh berbeda dengan di Indonesia,” tukas Yong Jin.
Beralih ke Prancis, di sana jurnal ilmiah disetarakan seperti thesis di Indonesia. Mahasiswa diwajibkan meneliti dan menentukan ruang lingkupnya sendiri. Data-data yang dibutuhkan juga bisa diperoleh dari kota-kota lain sesuai dengan kebutuhan data mereka. Umumnya, karya tulis tersebut dikerjakan selama dua tahun. “Berbeda dengan Indonesia, di Prancis tidak ada skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1,” ungkap Sakho.
Agar dapat lulus, mahasiswa Prancis hanya diwajibkan melakukan magang dan dari hasil magang itulah mahasiswa membuat laporan. “Tidak ada batas waktu pengumpulan, jika belum selesai konsekuensinya tentu terlambat lulus,” sambungnya. Menurut Sakho, membuat jurnal ilmiah memang sulit. Banyak masalah yang timbul karena sulit membagi waktu sambil bekerja serta membiasakan diri dengan kultur tempat bekerja. (zhi/wu)