Cyber Media
Call Warta: 2981039
Judul di atas menggambarkan seseorang yang begitu mengandalkan Ubaya sebagai ladang untuk mencari nafkah. Layaknya seorang petani yang mengandalkan sawah sebagai ladang mengais rezeki, Sri Atun mengandalkan dagangan nasi bungkusnya untuk memperoleh uang. Wanita yang akrab disapa Bu Peda itu harus membanting tulang setiap hari demi suami dan kedua buah hatinya dengan berjualan nasi bungkus di Ubaya.
Setiap harinya Bu Peda bangun pukul 2.30 untuk memasak dan menyiapkan semuanya yang akan dijual pada hari itu. Tak ketinggalan, dua anaknya juga turut membantu.”Memang saya telah mendidik anak-anak sedari kecil untuk membantu orang tua,” tuturnya.
Beliau masih teringat ketika dulu harus meninggalkan anaknya yang masih SD di rumah untuk mencari nafkah. “Syukurlah anak saya mengerti, bahkan bisa membantu saya,” ujar wanita yang juga akrab disapa Mak Tun itu. Tetapi itu dulu karena sekarang mereka masing-masing sudah dewasa dan mendapat pekerjaan. Walaupun begitu, wanita paruh baya itu tetap tak kekurangan kasih sayang untuk dua anaknya. “Saya tetap sering menelepon mereka di saat senggang,” jelasnya lagi.
Selama 16 tahun berjualan lamanya di Ubaya, Bu Peda banyak mengalami kejadian berkesan. Salah satunya ketika ia dijuluki sebagai “Ibu Peri” dan “Dewa Penolong” oleh mahasiswa Ubaya. Karena bagi mereka nasi bungkus dagangan Bu Peda harganya terjangkau sehingga sangat pas untuk isi dompet mahasiswa meskipun dalam keadaan cekak sekalipun. “Ada yang ngomong, berkat Mak Tun, meskipun uangku sedikit tetap bisa makan,” ungkapnya bangga.
Ketika ditanya mengapa dirinya enggan menaikkan harga, Mak Tun ternyata mempunyai alasan tersendiri. “Memang saya tidak mau ambil untung banyak karena kasihan sama cleaning service yang sering membeli makanan di sini. Kita harus hidup kan harus saling tolong-menolong,” tutupnya.(puz)